Opini Oleh: Oleh Alexander Manurung, Kordinator Daerah BEM SI Kerakyatan Kepri
Hutan lindung Nongsa di
Kota Batam telah menjadi korban dari praktik penggundulan hutan yang meresahkan
masyarakat dan pencinta lingkungan. Ironisnya, hutan yang seharusnya menjadi
kawasan konservasi dengan fungsi vital sebagai kawasan penyangga ekosistem,
justru mengalami pembabatan yang masif. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hutan lindung
seperti di Nongsa seharusnya mendapatkan perlindungan penuh, terutama dalam hal
pencegahan kerusakan dan degradasi ekosistem. UU tersebut dengan tegas
mengamanatkan perlunya pengelolaan kawasan yang berkelanjutan dan berbasis pada
prinsip kehati-hatian serta konservasi, namun realitasnya menunjukkan
pelanggaran sistematis yang terkesan dibiarkan.
Hutan Lindung Nongsa
sebenarnya merupakan salah satu kawasan yang sangat vital bagi keberlanjutan
ekologi Batam. Data survei lingkungan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kota Batam
pada tahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 200 hektar kawasan hutan di Nongsa
telah beralih fungsi menjadi area pembangunan properti dan infrastruktur. Hal
ini tidak hanya mengancam keanekaragaman hayati lokal, tetapi juga menyebabkan
meningkatnya risiko banjir dan tanah longsor di wilayah tersebut. Menurut data
dari Greenpeace Indonesia (Mei 2024), tingkat deforestasi di Batam telah
mencapai 30% dalam lima tahun terakhir, dengan sebagian besar terjadi di area
yang seharusnya dilindungi seperti Nongsa. Ini menunjukkan adanya
ketidakseriusan pihak terkait dalam menerapkan regulasi yang sudah diatur
dengan jelas.
Penggundulan hutan lindung
Nongsa bukan hanya sekadar masalah hukum yang dilanggar, tetapi juga masalah
ekologis yang berimplikasi panjang. Kawasan ini merupakan habitat bagi berbagai
flora dan fauna, serta menjadi daerah tangkapan air yang sangat penting untuk
Kota Batam. Pembabatan hutan di Nongsa menyebabkan peningkatan risiko bencana
ekologis seperti banjir, tanah longsor, dan hilangnya biodiversitas. Kehilangan
hutan lindung ini mengancam keseimbangan alam dan dapat mengakibatkan penurunan
kualitas hidup masyarakat sekitar karena hutan berfungsi sebagai penyaring
udara dan penyimpan air alami. Tanpa keberadaan hutan lindung, kemampuan alam
dalam menyerap air berkurang drastis, sehingga memperparah dampak musim hujan
di Batam yang sering kali disertai banjir.
Di sisi lain, Badan
Pengusahaan (BP) Batam yang memiliki peran penting dalam pengelolaan kawasan
Nongsa, terkesan menutup mata terhadap praktik ilegal ini. Sebagai badan yang
bertanggung jawab atas pengembangan wilayah Batam, BP Batam seharusnya memiliki
komitmen terhadap perlindungan lingkungan. Namun, lemahnya pengawasan serta
ketidakjelasan kebijakan dalam menjaga hutan lindung menimbulkan kesan bahwa
terdapat pembiaran yang disengaja. Praktik pembukaan lahan secara ilegal yang
terjadi di kawasan hutan lindung Nongsa mencerminkan adanya kelemahan regulasi
dan pengawasan, serta potensi konflik kepentingan dalam penggunaan lahan yang
seharusnya dilindungi.
Berdasarkan laporan dari
berbagai media lokal seperti Batam Pos dan Tribun Batam, aksi
pembukaan lahan di hutan lindung Nongsa telah mendapatkan sorotan dari aktivis
lingkungan dan masyarakat setempat, namun upaya advokasi tersebut belum
mendapatkan respons tegas dari pihak berwenang adanya tindakan nyata dari
pemerintah dan BP Batam untuk menghentikan penggundulan hutan serta
mengembalikan kawasan hutan lindung sesuai dengan fungsi aslinya. Tanpa adanya
intervensi yang tegas dan kebijakan yang berkelanjutan, kerusakan hutan ini
akan terus berlanjut dan dampak ekologisnya akan semakin sulit untuk
diperbaiki.
Referensi tersebut dapat dilihat dalam berita media
lokal yang melaporkan kasus ini, seperti dalam artikel dari Batam Pos
pada bulan Oktober 2024 dan investigasi dari Tribun Batam yang menyoroti
lemahnya penegakan hukum serta ketidakjelasan sikap BP Batam dalam melindungi kawasan hutan lindung.
.png)
